minumanrasa.com Mengenai bank garansi atau jaminan bank, Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., di dalam bukunya Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan (hal. 106) menjelaskan bahwa jaminan bank adalah suatu jenis penanggungan, di mana yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank.
Bank garansi terjadi jika Bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada kreditur.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam bank garansi, Bank baru bersedia memberikan garansi jika kepada Bank telah disetorkan sejumlah uang tertentu, sebesar garansi yang akan diberikan oleh Bank.
Jika kebetulan pemohon garansi itu telah mempunyai rekening atau deposito pada Bank, maka Bank akan memblokir jumlah uang itu untuk keperluan pemberian surat jaminan Bank.
Kemungkinan lainnya, dapat juga si pemohon garansi tidak menyerahkan sejumlah uang kepada Bank, melainkan memberikan kontra garansi yang berwujud jaminan yang bersifat kebendaan.
Mengenai Bank Garansi ini juga dapat Anda lihat pengaturannya dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/88/KEP/DIR Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank (“Kepdir BI No. 23/1991”) dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No. 23/7/UKU Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank.
Baca juga: Berikut Adalah Langkah Menyusun Laporan Arus Kas Bagi Pemula
Dalam Pasal 1 ayat (3) Kepdir No. 23/1991, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan garansi adalah:
a.Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).
b.Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).
c.Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank.
Sedangkan mengenai kafalah, dapat dilihat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbStertanggal 17 Maret 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (“SEBI 10/2008”). Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masakah Akad Syariah (hal. 136-137) mengatakan bahwa kafalah yang diatur dalam konsep syariah bisa dikatakan sama persis dengan konsep pemberian jaminan (borg) yang diatur menurut hukum positif. Kafalah berdasarkan SEBI 10/2008:
“…merupakan suatu pelayanan bank syariah di mana bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga.
Objek penjaminan dalam kafalah merupakan kewajiban pihak yang meminta jaminan dengan nilai, jumlah dan spesifikasi yang jelas, serta tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan).
Dalam pelaksanaan pemberian jaminan, bank syariah dapat meminta jaminan berupa cash collateral atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan dan bank dapat memperoleh imbalan atau fee atas jasa pemberian jaminan tersebut.”
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam skema kafalah, bank memberikan jasa dengan bertindak selaku penjamin atas pemenuhan kewajiban (utang) nasabah kepada pihak ketiga, yang dikenal dengan istilah awam garansi bank.
Baca juga: Penduduk dan Permintaan Kedelai
Atas pemberian kafalah ini, bank syariah menerima imbalan atau fee (ujrah) yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal tetap.
Tidak dibolehkan apabila nilai nominal dari barang yang dijamin jumlahnya berubah-ubah atau tidak sesuai dengan kesepakatan awal, kecuali dibuatkan kontrak baru.
Irma Devita (Ibid, 138) menjelaskan juga bahwa walaupun pada awalnya bentuknya adalah jasa, apabila terjadi keadaan nasabah melakukan wanprestasi atas kewajibannya terhadap pihak ketiga sehingga kemudian pihak yang menerima jaminan “mencairkan” jaminan itu, bank garansi (kafalah) tersebut berubah menjadi utang.
Bank kemudian akan memenuhi kewajiban nasabah kepada pihak ketiga atas dasar Qardh (dana talangan), dan selanjutnya nasabah berutang kepada bank syariah yang wajib dikembalikan oleh nasabah baik secara tunai maupun dengan mencicil.
Melihat pada uraian di atas, pada prinsipnya adalah sama, yaitu penjaminan yang diberikan oleh bank.
Perbedaannya adalah bank garansi menggunakan prinsip perbankan umum, sedangkan kafalah menggunakan prinsip syariah.
Baca juga: Tantangan Kebijakan Pengembangan Sektor Makanan dan Minuman